Photobucket
Wednesday, February 7, 2007
WAWANCARA PUITIKA.NET
[ source: www.puitika.net ]

Nur Lodzi Hady lahir di Jombang, 18 Agustus 1977. Kecintaannya untuk berkesenian telah tumbuh sejak lama. Menulis puisi telah dilakukannya sejak smu dan sampai saat ini telah memilikikumpulan puisi pribadi antara lain, Bogang (1995), Kertas Kosong (1996), Catatan Bising (1999), Atas Nama Bara (2001), dan Infeksi [Jejak Luka] (2005). Selain menulis puisi, ia juga menulis naskah drama. Hasil karyanya antara lain, Kebayan Dengkul (2001), Orang Asing (2001) dan Tewasnya Sang Superman (2004), Cinderella Syndrome (2006), Hilangnya Kyai Khagaswara atawa Tewasnya Sang Superman part II (2007). Beberapa naskah tersebut telah dipentaskan selain disutradari sendiri. Sedangkan pengalaman menjadi aktor sudah tak terhitung. Pernah aktif berkesenian di Forum Penyair Muda Malang (FPMM) di bidang road show (2003-2004).

Lelaki lajang yang mempunyai motto `Biar saja jadi sampah kenyataan asal bukan menjadi sampah sejarah` ini berlatar pendidikan hukum di Kampus Universitas Islam Malang. Kru puitika.net ( www.puitika.net ) yang bertandang ke Kampus Unisma disambut baik oleh sang penyair. Simak saja hasil interview kru puitika.net dan juga rekaman suara pembacaan puisi beliau.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
(puitika.net) Sazano : S
Nur Lodzi Hady : N
-----------------------------------------------------------------------------------------------

S : Kapan anda mulai menulis puisi? Atau / dan serius menulis puisi?

N: Saya mulai `serius` menulis puisi sejak masa kuliah. Hal ini lebih dikarenakan kedekatan saya dengan dunia kesenian dengan bergabungnya saya di teater. Tapi hal itu tidak terjadi secara kebetulan, niatan saya dulu masuk teater salah satunya juga didorong oleh kritisisme dan gairah yang segar untuk `meruangkan` kesukaan saya dalam menulis dan berakting akting, yang sebenarnya sudah mulai saya rasakan sejak masa sekolah. Saya masih menyimpan beberapa file puisi ataupun cerpen semasa SMP bahkan SD. Sewaktu SMA saya rajin mengikuti berita dan ulasan ulasan sastra/budaya meski sebenarnya kurang mengerti. Tapi bagusnya hal itu mendorong saya untuk terus belajar menulis. Hasilnya, pada tahun `95 – ketika duduk di kelas III– dengan setengah percaya diri saya mengeluarkan antologi sendiri, -- dengan peralatan manual dan stensil -- tentu saja untuk kalangan terbatas dengan kualitas `harap maklum`.

S: Apa tema dan topik spesifik yang anda biasa tuliskan?

N:Kemanusiaan, eksistensi dan pembebasan

S: Kenapa anda berfikir mereka penting untuk di eksplorasi dalam puisi anda?
N: Kemanusiaan adalah medan universal yang menyangkut tata hidup, sistem nilai dan sejarah peradaban. Dalam prakteknya, gejolak sejarah berisi pertarungan yang tak seimbang, manipulatif, eksploitatif dan mengesampingkan tugas tugas nurani, menyembunyikannya di lorong lorong gelap yang sepi dan dingin. Padahal semua orang tahu apa yang mereka lakukan. Seperti telah terjadi sebuah kesepakatan massal dan rahasia untuk melakukan itu dan tak hendak membuka antara satu dengan lainnya. Dan saya akan senang menjadi satu dari orang yang berniat membebaskan tugas tugas nurani itu dari kegelapan dan udara dingin: untuk pembebasan sejarah keterasingan manusia, setidaknya untuk diri saya sendiri! Dan jalan terbaiknya adalah sebuah puisi harus dapat mewakili keberanian penyairnya dalam menentang arus yang mungkin tak sebanding dengan kekuatannya...yah, ini mungkin berlebihan, tapi begitulah yang saya yakini. Ini tiket sekali jalan.

S: Apa peran menulis puisi dalam hidup anda? Apakah lebih pada pencuci otak? Hal yang artistik atau puisi itu dapat berperan dalam masyarakat dengan jalan tertentu? Atau gabungan dari ketiganya?

N: Awalnya biasa saja, saya sering gak bisa melihat bolpoint dan kertas kosong nganggur, sementara tidak ada yang saya kerjakan. Saya menikmatinya, entah jadi apa tulisan saya itu nantinya. Tapi yang jelas, - menurut saya - seluruh kesan, persepsi, mood, basic intelektual dan kepekaan intuitif seseorang akan sangat menentukan citra yang akan dihasilkan oleh karyanya. Puisi harus hidup dan mewakili sejarah penyairnya!, dalam hal apapun, dan pasti akan seperti itu. `tidak ada fiksi yang benar benar fiksi`, begitulah adagium itu saya terima kebenarannya, hal mana sejalan pula dengan teori Madame de Stael serta analisa Hipolyte Taive, bahwa puisi itu merefleksikan peristiwa peristiwa zamannya, setidaknya menjadi saksi atas semangat yang terjadi dalam kurun zaman tersebut. Puisi adalah mata tombak yang terkadang saya lemparkan atau saya simpan sebagai jimat keberanian dan penjaga bagi jalan hidup yang telah saya tegaskan. Saya tidak menolak jika dianggap terlalu provokatif dalam membuat puisi. Hal itu bukan soal dengan alasan alasan yang sudah saya singgung. Yang terpenting adalah jangan sampai atas nama materi atau tematik, performance puisi sebagai karya seni-sastra dinomorduakan. Demikian pula sebaliknya saya berpendapat, puisi jangan hanya jadi bunga plastik. Harus ada unity antara keduanya. Sehingga dengan demikian kita tidak akan diusik lagi oleh debat klasik: Art to Art or Artfor Social Movements.

S: Darimana anda mendapatkan inspirasi-inspirasi untuk menulis?

N: Tidak tentu. Kebanyakan muncul begitu saja ketika menangkap sebuah kesan. Arah dan bentuknya pun tak pasti. Sering pula karena kesan tertentu tiba tiba sudah tertata sebarisan kata yang seolah sudah jadi, atau setidaknya berfungsi `mengunci`. WordStrikes, begitulah saya biasa sok keminggris menyebut saat saat dimana saya diserang sebarisan kata kata yang menurut saya saat itu indah, tepat. Karenanya saya nyesal sekali bila kelupaan menuliskan itu semua, sebab seringnya hal itu muncul di saat saat yang tak terduga, lagi jalan sendirian di tempat sepi misalnya, atau di tengah hiruk pikuk manusia. Selain itu sering pula saya memang sengaja membaca buku, menonton film, mendatangi teman, orang tua dan seterusnya yang selain tujuan praktisnya saya `merencanakan` sebuah kesan yang mungkin saya capture dan hidupkan.

S: Melihat anda menampilkan puisi secara utuh kepada audiens memberikan kesan tersendiri. Anda menggunakan kontak mata, infleksi suara dan gerakan anggota badan. Seberapa penting hal ini untuk menyampaikan pesan dari puisi anda?

N: Sangat penting. Karena hal itu menyangkut panggung, sebuah pertunjukan, sesederhana apa pun itu. Memang banyak penyair yang tak merasa perlu untuk membaca puisinya dengan pertimbangan ini. Alasannya saya setuju, puisi – seperti juga karya sastra yang lain – awalnya adalah teks. Puisi sudah bernama puisi-sastra modern kalau sudah berbentuk teks. Cukup. Di sini puisi sudah menunaikan tugasnya. Lain halnya kalau saya atau anda membacakan puisi itu di panggung, saya atau anda mempunyai tugas lanjutan, yakni menghidupkan kembali spirit teks puisi di depan sekian khalayak penonton, bukan pembaca teks. Karena itu saya bersyukur sedikit ngerti teater, sehingga beberapa pola panggung semacam diksi, kesadaran ruang, artikulasi, gesture sampai soal melakukan improvisasi dapat membantu saya melukiskan jiwa teks sebuah puisi secara lebih mendekati. Yah, bisa jadi sebuah pembacaan puisi dapat memberikan nafas segar dan injeksi darah bagi `masa depan` teks itu sendiri.

S: Apakah anda percaya bahwa puisi anda dalam bentuk teks lebih `menderita` dalam kenyataan bahwa mereka tidak secara penuh menyampaikan pesan seperti yang anda inginkan dibanding `puisi podium`?

N: Tidak juga. Teks bagi puisi tetaplah menjadi menu utama. Sedang memanggungkannya adalah urusan yang bisa dianggap lain sama sekali. Ada saat dimana kita menelusuri jejak kata dalam puisi seperti sedang berjalan sendiri mengarungi sebuah lembah, padang rumput atau pasir, bertemu dengan oasis, genangan darah, atau bercengkrama di tengah rupa rupa bunga. Kita enggan jika ada yang hendak mengganggu. Kita butuh menyendiri dalam memasuki sebuah dunia; gerak imaginer, sebuah pengalaman puitik yang kita inginkan hadir. Betapa dahsyatnya saat saat seperti itu, hal yang mungkin tidak kita ketemui dalam panggung pembacaan. Itulah kenapa saya sebel kalau kebetulan melihat orang membaca puisi asal asalan, dipuisi puisikan...seolah olah. Membacakan adalah mewakili puisi itu untuk hidup. Yang diwakili adalah semangatnya, keindahannya, jalan dramatisnya, kegaiban katanya. Jika itu gagal, gagal pulalah puisi dihadirkan sebagai puisi. Pembacaan kayak begini hanya akan merusak tugas sebuah puisi yang seharusnya. Saya sendiri jarang membaca puisi penyair lain sebelum saya benar benar yakin. Takut kualat...hehe..

S: Saya melihat dalam karya anda terakhir khususnya dalam antologi `Infeksi [jejak luka] ` cenderung berbicara masalah yang politis. Bisa anda jelaskan sedikit tentang antologi ini?

N:Memang banyak puisi saya terkonsentrasi ke soal soal itu, sebagaimana telah saya ceritakan. Tapi tidak semuanya. Sedangkan Infeksi sendiri memang sengaja saya buat untuk kado tujuhbelasan tahun 2005 kemarin. Jadi saya pilih beberapa puisi berkarakter panggung, biar matching sama momentumnya dan karena memang saya berniat membacakannya, mempertunjukkannya. Isu sentral yang saya hadirkan ya kemerdekaan itu, cuman saya menariknya pada nilai yang lebih substansiil, mendasar: pembebasan kemanusiaan [humanize]. Gak terlalu istimewa juga. Bikinnya saja buru buru ditambah isi kocek yang gak sepadan dengan angan angan...tapi syukurlah, kawan kawan cukup apreciate.

S:Literatur-literatur apa saja yang anda baca?

N:Aduh, apa ya. Saya suka sejarah, buku buku sosial, politik, pendidikan, psikologi. Saya baca Marx, Faucoult, Gramsci, Erich Fromm, Ivan Illich, Freire, Geerts, Takashi Siraishi, bahkan Dale Corniage. Saya baca catatan perjalanannya Ernesto, Tan Malaka, Soekarno, juga skripsinya Soe Hok Gie. Saya juga bersemangat dengan Ali Syariati, Pergolakan pikirannya Ahmad Wahib, Nietsche, Spinoza, Sartre, Jacques Derrida, Maxim Gorky, Beyond ilussionnya Duong Dhu Huong, `The Alchemist` Paulo Coelho, Rabindranath Tagore, Sophocles, Shakespeare, Ronggowarsito, Pramoedya, Kahlil Gibran, Chairil, Rendra terus Cak Nun. Saya juga menikmati antologinya Sazano, Sosiawan, Gus Mus. Semua yang saya mampu baca. Dan ini yang terakhir, komik Barathayudha karya R.A Kosasih, naskah lama berdampingan dengan karya karya sastra angkatan Poejangga Baroe dan `66. Hehe...banyak khan? Biar dibilang pinter padahal bingung....ga pa pa. Membaca dan menulis itu sinergis, jalan bareng. Kalau pun itu belum mampu mencerahkan kita, setidaknya akan menjadi daya dorong vitalitas – atau seperti kata Taufiq Ismail – obat awet muda.....

S: bagaimana menurut anda tentang gambaran seorang penyair ideal?

N: Penyair ideal? Di tahun 80`an saya suka sekali dengar Arya Dwi Pangga – kakak Arya Kamandanu dalam lakon sebuah sandiwara radio – kalo lagi baca syair : atau puisi. Saya waktu itu ngefans banget. Dia makan cacing di sumur, serangga, semua yang bisa untuk ngisi perut, tersiksa. Dendamnya menguasai seluruh daya yang ia miliki, dan yang tetap menghiburnya `hanyalah syair syair dendam nestapa kehidupannya yang ia rangkai dalam kata kata berkemas mantra; menjadikannya seorang `Pendekar Syair Berdarah`. Sayang, dalam sandiwara itu Arya Dwi Pangga berkonotasi negatif dengan karakternya yang cenderung antagonistik, tidak baik hati, suka melanggar hal hal etis, pembunuh. Waktu itu [!], saya berakhir membencinya dengan alasan alasan normatif, tapi menyukainya secara artistik sambil terus berharap sang pahlawan saya ini akan tegak di waktu kemudian. Tapi salah, saya harus menyerah pada mental normatif orde kita waktu itu.

Kemudian saya `bertemu` kembali dengan Chairil Anwar, nama yang sama sekali kemudian saya pahami berbeda dari sewaktu saya sekolah. (Brengsek! Andai bisa saya akan protes pada guru guru yang pernah ngajar soal dia. Dasar Orde Gombal! – di sini saya percaya teori hegemoninya Gramsci: idiological state apparatus! . tak ada yang lebih buruk dari sejarah yang dipalsukan!) Seorang penyair tidak ditentukan oleh pilihan baik buruk. Secara adil kita harus katakan, mereka yang menyediakan diri "bersikap" dalam hidup dan menitipkan sikap sikap ini pada lempengan lempengan mata tombak yang bernama puisi, baik kemudian dilempar atau disembunyikan; dialah seorang penyair; puisi puisinya berisi citra sejati hidup yang dialaminya, diserap dan dipantulkannya. Ia bersuka cita pada hal hal sederhana tapi mederita dengan sekian suka cita yang bahkan tidak dimengertinya: mengapa hal demikian sampai bisa menjadi suka cita dan lantas memenjarakannya kembali dalam keterasingan [ alienasi ]? Atau sebaliknya, puisi puisinya pada waktu yang bersamaan tertawa terkekeh kekeh demi melihat generasi manja, lesu, mabuk terlalu dini...Ah, tampaknya Chairil harus tetap menjadi icon yang saya kagumi dengan sadar dan cermat; sehingga saya juga siap menerima resiko dari setiap kesaksian saya.

S: Menjadi penyair atau di sebut sebagai penyair , apakah menjadi beban bagi anda?

N: Tidak, bagi yang memahaminya, gelar penyair itu malahan terhormat, meski juga bagi sementara orang lain dianggap minus. Misalnya dianggap seorang penghayal, pemimpi, pengangguran linglung dsb. Dari sana dapat pula kita lacak, apakah kita memang pantas disebut demikian -- yang dalam istilah Chairil – menjadi penyair `sekedar` atau `menjadi`?. Yang penting bagi saya, penyair bukan hanya `perajin katakata`!.

S: Hal tersulit apa yang anda hadapi dalam hidup?
N: Mengkompromikan diri dengan kenyataan yang sering terasa begitu getir. Seperti memegang bara yang menyala nyala, sedang ia harus tetap diselamatkan. Meski sulit tapi tak ada pilihan lain selain tetap bertahan, bersikap kritis dan tetap melawan. Saya menolak tunduk pada kenyataan terpahit sekali pun. Kepala boleh remuk tapi hati terjaga, hidup merdeka atau mampus berkalang tanah..sepenuhnya saya sadar dengan pernyataan ini.

S: Bagaimana kegiatan berkesenian anda dengan komunitas?

N: Baik baik saja. Kami masih sering diskusi bersama, membuat pementasan, reportoar. Atau setiap hari Rabu malam kami secara rutin berkumpul dan membacakan atau menyanyikan karya karya kami secara bergantian.

S: Apa anda lebih senang dipanggil sebagai aktor, sutradara, penulis naskah, cerpenis, atau penyair?

N: Jika harus milih, penyair tampaknya lebih tegas dibanding yang lain.
S: Apakah selama ini anda mendapat kesulitan akses untuk menembus media cetak besar?

N:Mungkin ya. Saya sendiri tak pernah mencoba mengirim karya ke media media. Saya akui saya bersikap kurang adil dengan memandang apriori terhadap media besar. saya juga ikut gembar gembor soal sastra pinggiran, komunitas lubang tikus dan kanon sastra. Jadi ya begitulah...mungkin nanti saya coba kirim beberapa, habis sekarang lagi ga ada kenalan seorang editor media terkenal sih ...haha.....
S:Apa pendapat anda perihal karya sastra yang diterbitkan dengan model indie label?

N:It`s ok. Ruang harus diciptakan. Yang terpenting bukan hanya penerbitannya saja, tapi lebih mengakarkan budaya apresiasi dan diskursus kekaryaan. Selain itu bagus untuk menciptakan local support. Setiap karya yang keluar dapat diakses melalui jejaring yang rapat dan dinamis. Hal ini perlahan akan mampu memacu semangat kawan kawan lain untuk berani tampil, menunjukkan apa yang dapat mereka lakukan: karya! Di sisi lain dapat pula menjadi ruang alternatif dan bahkan kontra wacana ata canonism media media mapan.
S:Bagaimana menurut anda menumbuhkan gairah generasi muda untuk menulis puisi?

N:Memberinya ruang seluas luasnya untuk mengaktualkan ide ide kepenulisan puisi. Mencitrakan puisi bukan sebagai barang mahal tapi juga tidak murahan. Salah satunya melalui jejaring itu tadi. Bikin support system. Sesekali dilakukan festival yang berorientasi penuh pada gairah pemberdayaan tersebut. Tidak seperti yang sudah sudah, lomba lomba tak jelas jluntrungannya. Sekedar saja.

S:Ceritakan kepada kami tentang apa masa depan anda terkait dengan masaiah menulis?

N:Saya akan tetap menulis, saya yakin itu. Tak peduli mau dicover media atau tidak. I live with the people. Itu saja. Mungkin selamanya karya saya akan berlabel indie atau mungkin juga tidak. Puisi dalam pasar bisnis penerbitan memiliki rating rendah. Tak banyak yang diharapkan dari puisi menyangkut kesejahteraan material. Yang tetap ia jaga adalah kesejahteraan ruhani kita. Jadi saya akan tetap menuliskan mereka [puisi] bersamaan dengan perjalanan waktu yang entah akan menyeret saya kemana.

S:Sedikit ingin tahu, apa dan siapa penyanyi favorit anda?

N:Jim Morisson, vokalis kelompok The Doors. Dan Ummi Khoultum [Ummi Kaltsum].

S:Bagaimana falsafah hidup anda?

N:Segi tiga emas jalan hidup. Saya ini orang yang percaya pada tuhan dengan sepenuh penuhnya. Saya menghamba dengan wajar sebagai orang yang berkeyakinan dan sadar dengan keyakinan tersebut. Dan itu harus saya tandaskan – bukan saja dalam kerangka normatif formalistik, tapi -- dengan sikap hidup merdeka dan mengabdikan diri pada dedikasi kemanusiaan yang berakar dari keyakinan bahwa saya bertanggung jawab atas setiap sepak terjang saya secara otonom di hadapanNya. Saya merdeka karena saya berada dalam kendali langsungNya, Ia memerdekakan dan menjaga. Maka tak boleh ada yang membuat hati ciut, tak ada alasan untuk takut.Hubungan saya dengan tuhan tersebut bersifat vertikal, sementara saya hidup dalam lingkungan sesama ciptaannya, sebuah hubungan yang bersifat horisontal. Maka setiap manusia adalah subjek aktif, sumbu dalam kaitan vertikal-horisontal. Kita tak boleh lari dari kenyataan dunia provan, tapi bagaimana meruhanikan hal hal provan, melandasi dunia wadag dengan dan untuk menjadi bersifat transendental. Antara provan dan transendensi adalah satu dan tak boleh dipandang sebagai dua sisi yang terpisah. Itulah yang saya sebut sebagai segi tiga emas, dimana saya terlibat `hidup`: berjuang dalam hidup, memperjuangkan hidup, untuk hidup demi...kehidupan. saya masuk dalam rung mikro karena saya memang bagian dari mikro itu. Tapi ada realitas makro yang tak bisa hanya direspons dengan berfikir kekinian tanpa reserve bahwa yang mikro ada dalam lingkup realitas makro. Kaki kita menancap di bumi tapi jari jari kita kuat berpegangan atap langit. Dengan begitu kita tak mudah tergulung pusaran mikro, lenyap di dalamnya. Alih alih, kitalah yang akan menentukan gerak sejarah dunia hidup dan kehidupan ini.

S: Pengalaman paling berkesan saat membaca puisi? Dimana dan kapan?

N: Di kampus Unisma Malang. Waktu itu saya diundang membaca puisi dalam sebuah pergelaran band music. Penonton sedemikian banyak yang notabenenya juga datang untuk bersenang senang. Singkatnya, suasana sangat tidak kondusif buat refleksi macam baca puisi. Sempat saya kelabakan menyiasati `massa cair` seperti itu. Saya coba memancing. Dan saat itulah terjadi kontak langsung puisi puisi yang saya bacakan dengan sebuah simbol manifestasi pop culture. Saya menyambut celetukan seorang penonton dengan memberondongkan sebarisan kata kata yang entah begitu saja menyeruak dengan bernas dan tepat mengenai sasaran. Diluar dugaan, banyak penonton lain yang kemudian antusias dengan `ledakan gaib` itu, dan merekapun bergemuruh sementara saya seperti mendapatkan tenaga berlipat untuk sepenuhnya menguasai atmosfir pementasan.

S: Terakhir, menurut kata-kata anda sendiri , apa itu puisi?
N: Mantra sakti ksatria tanpa pedang dan baju zirah

------------------------------------------------------------------------------------------------
Membaca puisi-puisi Nur Lodzi Hady tentunya anda akan setuju bahwa semangat yang disimpan penyair seakan tidak pernah habis. Setiap zaman membutuhkan penyair-penyair yang tidak hanya membiarkan puisi mereka disimpan dan dibaca dalam kamar saja namun menjadi api yang bisa menyulut kita semua untuk bergerak. Simak salah satu puisinya :

PEMUDA

hayo, bung!
jabat erat tangan kita
pemuda tak datang untuk kalah
tak lahir demi menyerah

jika seribu mimpi telah kita terbitkan menjadi matahari
maka ada sejuta pecundang
yang kan datang untuk mencuri

jika perompak tunggang langgang
saat menjarah
itu tandanya babakan lain penjarahan
baru bermula

tapi janji hati
yang kita selipkan di sela sela malam,
di buku diary dan nyanyian nyanyian
sepi akan menjaganya!

kita hanya butuh kata percaya
bahwa darah dan airmata
yang kita sediakan untuk cinta
adalah harapan hidup kaum papa
dalam nyanyian keringat nasib yang nestapa
:tiada ini sia sia!

hayo, bung!
jabat erat tangan kita
sebab pemuda datang demi tak rela
lahir tuk jadikan api zaman tetap menyala
dan lahirkan lagi seribu pemuda
sebelum kita pun beranjak menjadi tua.

hayo, bung!


*Jalan masih panjang terbentang dimuka Bung Lodzi dan semoga anda tetap menjadi inspirasi bagi generasi mendatang. Salam.



PERHATIAN! Berhubung ini blogger klasik mk ga da navigasi page PREVIOUS-NEXT nya. Jadi pake 'Archives' saja ya.. Thanks!


Video lainnya
Lee Kyung Hae
TERABAS (Breakthrough)
Hidden faces of Globalization
The Dapuranku
Previous Post
Archives
Teman-Teman
Link Exchange





KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia
Blogger Indonesia
Add to Technorati Favorites
baby-blog
blog-share
ini zaman anti teori

resep masakan indonesia
Women's Diary
EPBLOG
Politics blogs
Manifesto
FPPI
Runi
Tengku Dhani
Malang Blog
Kumpul Cerpen
Dee Idea
Tokoh Indo
Puisi Indo
BengkelVenorika
Malik
Ratna Ningsih
Majapahit
Komter 193
Ragil Ragil
Mbak Ratna
Sajaknesia
Alang Liar
Balimoonlight
Theatreonline
Team Support
Sabudi Prasetyo
Youliens
Hedwigpost
Cepeca
Andi Nur
Adi Suara
A P I
Fath Alhadromi
Sekolah Petani
Hidup Petani
Pecangkul










Lodzi
Copy Paste CODE berikut di page anda dan kami akan me-LINK balik

Free money making opportunity


Previous Posts
WAWANCARA PUITIKA.NET |